Langsung ke konten utama

Postingan

Prusik Merah Jambu

Oleh: Meka Nitkaw          Baru saja aku menolehkan kepala ke kiri, dengan desisan ucapan salam dari katupan bibirku, ketika suara kemresek patah-patah mengganggu kedua lubang telingaku. Belum juga sajadah yang mengantarkanku ke ujung sholat zuhur terlipat rapi, tanganku meraih handy talky Kenwood TH-255A berantena 30 sentimeter. Cepat. Tanpa jeda.          Sreeeet…. “Hiu lima…. Hiu lima…. Ini Hiu satu, ganti,” panggilan ketiga yang terus menderu. Buru-buru jari telunjukku menekan tombol persegi panjang tumpul di ujung atas. “Masuk…. Masuk…. Hiu satu, di sini Hiu lima, ganti.” Kemeja orange dengan badge bulat perpaduan warna kuning hijau bersiluet peta Indonesia di lengan kiri, siap membalut tubuh kekarku.  “Tiga target terlihat. Lima ratus meter. Arah sudut empat puluh lima derajat dari Bandung Timor (1),  ganti,” rentetan informasi meluncur jernih dari Hiu satu, Korlap di KRI Bung Tom...

Kembarmayang

Hamengku Gati meradang, memandang malam dengan daun pintu yang benderang. Kesayuan bergelayut mesra di antara retina, mengecap kesenduan di dalam rinai doa. Kembarmayang digadang-gadang. Gejolak menimang wahyu perjodohan, untuk menemani sang putri bebrayan. Gending menderu merdu, mengalun memanggil Kalpataru, meminta sulaman Dewadaru-Jayadaru terselesaikan. Bidadari menerobos jagad, berselendangkan wewangian alam. Menunduk titah Sang Bathara Guru, merangkai untaian dua sekar adhi, kembar putera puteri. Sekar mancawarna penuh tebusan. Sepasang daun sirih pengikat tikar jaman, lokapana, lokamadya, lokabaka. Lahir, tumbuh, mati. Pengingat waktu kesempatan dari ilahi. Dua jejaka meluruhkan kesombongan, Mengapit dhomas meretas malam. Merayu sang Kembarmayang, membumbung, merasuki taman-taman. Dhandhanggula bersemayam, meretas kebisuan para kenya perawan. Menggamit cengkir gading, Melempit sindur, melebarkan bangun-tulak. Kembarmayang di perempatan jalan, ...

Kenangan KF 10: Ini Bukan Soal Cinta, Tapi Cerita Tentang Keluarga

           Ketika menulis ini, aku sedang berpikir keras, berguna gak sih? Mana udah telat, udah lewat dua minggu pula. Ah peduli amat, amat aja kagak peduli. Biarin ah. Ngapain juga diambil pusing, yang penting ditulis aja, bukan? Toh ingatan tentang kenangan itu masih terus menderu dalam otak dan hatiku. Hmmm kampus fiksi 10. Ya, sesuatu yang aku sendiri tak pernah membayangkan bisa terpilih untuk mengikutinya, lebih awal pula.             Senyumku menimbulkan kekehan yang menggelitik telingaku sendiri. Ingatanku tiba-tiba melayang ke malam pentas seni. Pentas seni dengan persiapan yang serba kilat. Lebih tepatnya kilat ekspress, persis seperti jenis kiriman pada kantor pos. Ups lebih kilat lagi. Petir kali ya yang cocok. Cerita tentang Cinta dan Rangga. Ah aku terkekeh lagi kan? Cerita itu sungguh tragis, berakhir dengan berlabuhnya hati Cinta kepada colok...