Langsung ke konten utama

Prusik Merah Jambu

Oleh: Meka Nitkaw

         Baru saja aku menolehkan kepala ke kiri, dengan desisan ucapan salam dari katupan bibirku, ketika suara kemresek patah-patah mengganggu kedua lubang telingaku. Belum juga sajadah yang mengantarkanku ke ujung sholat zuhur terlipat rapi, tanganku meraih handy talky Kenwood TH-255A berantena 30 sentimeter. Cepat. Tanpa jeda.
         Sreeeet….
“Hiu lima…. Hiu lima…. Ini Hiu satu, ganti,” panggilan ketiga yang terus menderu. Buru-buru jari telunjukku menekan tombol persegi panjang tumpul di ujung atas.
“Masuk…. Masuk…. Hiu satu, di sini Hiu lima, ganti.” Kemeja orange dengan badge bulat perpaduan warna kuning hijau bersiluet peta Indonesia di lengan kiri, siap membalut tubuh kekarku. 
“Tiga target terlihat. Lima ratus meter. Arah sudut empat puluh lima derajat dari Bandung Timor (1), ganti,” rentetan informasi meluncur jernih dari Hiu satu, Korlap di KRI Bung Tomo.
Lapan enam (2). Pasukan siap, sepuluh lapan (3) ke timor kupang pati (4), ganti.” Lengan kiri kemeja yang sudah sampai pundak, aku turunkan dengan paksa.
Lapan satu tiga (5).” 
Wetsuit hitam bergaris biru sepanjang lengan dan dari bawah ketiak sampai mata kaki bertengger pasrah di sekujur tubuhku. Ya aku harus memakai pakaian ini. Pakaian khusus penyelam. Biar hangat. Pun sebagai pelampung. Demi alasan safety
      Breafing mejadi awal perjalananku di hari kelima tugasku memeluk luasnya laut. Tak ada ketakutan. Keraguanpun tak sempat mendekat. Ini konsekuensi yang harus aku terima. Keputusanku tiga tahun yang lalu untuk melamar rescuer di Badan SAR Nasional, telah membawaku melalui banyak bencana dan kecelakaan. Dan di sinilah aku sekarang. Resmi bercengkerama dengan Komado Pasukan Katak. Terikat erat pada SAR rescue unit air. 

*** 

Hari keenam hilangnya pesawat Air Asia QZ8501 tujuan Surabaya-Singapura. Banyak mata dan telinga sedang memburu kabar berita. Mata dan telinga dari kepala yang tak kuasa menahan perih. Sedih. Menanti harapan yang tak pasti. Melipat seluruh kenangan dengan ketergesaan. Tugasku, menyambungkan kabar itu. Hingga titik nadir bermetamorfosis menjadi titik terang. Seluruh jiwa raga bertarung dengan cuaca. Pun dengan kehendak dan moody sang alam.
Pelan-pelan kaki kananku melangkah, menjejaki tubuh perahu karet. Mesin dinyalakan. Berisik. Lebih berisik dari deru Kopaja tua yang menyibak aspal Jakarta. Moncong perahu tampak gagah membelah kulit atas air laut. Ketiga rekanku diam. Mata mereka nanar. Berkedip sebentar, lalu mengekor pada lajuan moncong perahu. Menatap patuh pada riak arus lautan.
Bismillah…. Avignam Jagat Samagram! Ya Allah Ya Karim, aku memohon kepadamu untuk kelancaran evakuasi hari ini
Tiba-tiba aku resah. Meracau dalam diam. Ah kenapa ini? Aku sudah biasa menghadapi situasi seperti ini. Konsentrasiku tak boleh terpatahkan oleh rasa lelah. Memang, bulan-bulan di musim penghujan mengharuskanku mempersiapkan tenaga ekstra. Lebih banyak. Untuk standby dan siaga menghadapi perasaan alam yang tak menentu. Tapi, tak seharusnya begini.
“Tiga korban di depan. Mari segera kita evakuasi, sebelum gelombang meninggi,” tepukan di pundakku merunyamkan lamunan. 
“Siap!!! Mari kita lakukan segera dan sesuai rencana,” senyumku tipis, setipis kabut.
Tangan dan kakiku berayun penuh irama, meskipun tanpa dentingan melodi. Mendekat. Meraih tubuh kaku. Pelan kutangkap. Evakuasi korban meninggal lebih mudah daripada korban yang masih hidup. Seharusnya. Tak membahayakan rescuer dengan segala kepanikan, pun dengan aksi mancal-mancal atau mendorong kepala penolong ke dalam. 
      Tapi tiba-tiba perasaanku kembali tak keruan. Seperti dihunjam berpuluh-puluh pisau lipat. Wetsuit yang menghangatkan tubuh mendadak tak berfungsi. Tubuhku seperti memasuki sebuah freezer tempat daging dibekukan. Dingin. Aku menggigil. Ah keprofesionalanku akan dipertanyakan kalau aku terus-terusan begini. Keteguhan harus segera kembali. Jangan sampai ada yang tahu. Titik.
Buru-buru aku berenang menuju perahu karet. Dua jenazah lain telah terbungkus rapi di dalam kantung. Mesin perahu kembali dihidupkan. Proses evakuasi berlanjut ke kapal induk. Sejenak aku bisa meletakkan keresahanku. Sembari menikmati desahan angin laut. Membuai tengkukku lamat-lamat. 
       Ayunan gelombang menyentakkan.  Mengingatkanku untuk menekan tombol handy talky. Klik.
“Hiu satu…. Hiu satu… ini Hiu lima, ganti.”
“Masuk, Hiu lima. Hiu satu monitor, ganti.”
“Lapor, Ndan. Tiga target Medan Demak (6). Dua laki-laki dan satu perempuan, ganti.”
“Diterima. Segera evakuai ke Bandung Timor.

 
***

Penemuan siang ini tak lantas membuat jam pasir berhenti mengalirkan butiran-butiran lembut tubuh sang pasir. Ruangan di salah satu sisi kacanya kembali kosong. Siap untuk diisi ribuan pasir dari ruangan kaca di atasnya. Proses pencarian kembali berjalan. Terus dan terus. Sampai seluruh korban ditemukan. Tak ada batas waktu operasi, seperti perintah atasan.
Tim evakuator bahu membahu mengangkat ketiga jenazah memasuki tubuh KRI Bung Tomo. Aku menanggalkan wetsuit yang telah berubah rasa menjadi asin. Rekan-rekanku sibuk memindahkan dan mencatat informasi awal yang melekat pada masing-masing tubuh jenazah. Belum juga air tawar menjamah tubuhku melalui gayung yang sengaja aku ayunkan, darahku terkesiap. Bukan karena dingin. Tidak sama sekali.
Mataku melotot. Tertumbuk pada benda di pergelangan tangan salah satu jenazah. Disela-sela tubuh rekan-rekanku yang berkerja, aku melihatnya samar-samar. Cepat-cepat, gayung kulempar ke bak yang sengaja disiapkan di pojok kanan galangan kapal, untuk membilas badan dan perlengkapan setelah menyelam atau berenang.
Aku meminta keempat rekanku yang sedang memegang ujung kantung mayat, berhenti. Resletingnya sedikit terbuka, hingga membuat lengan kiri korban mencuat ke luar. Aku memperhatikan dengan tenang. Lekat-lekat. Keberanianku muncul, untuk melihat lengkap lengan kirinya. 
        Deg!!!
    Biasanya, kapal perang dapat membelah laut dengan tenang. Tubrukan gelombang sering tak dapat dirasakan oleh penghuni kabin. Tapi kali ini rasanya berbeda. Tak seperti biasa. Aku merasakan kapal bergoyang, sedikit oleng. Kepalaku seperti terantuk jangkar. Aku hampir tumbang. Oh ternyata hanya perasaanku saja. Kapal tetap kokoh menancap di permukaan laut. Tubuhku masih berdiri di tempat. Tak beringsut.
Desiran darahku menggebu, berlomba-lomba mencapai ubun-ubun. Rasanya, alat kejut jantung sedang menggerayangi dada bidangku. Bertegangan tinggi. Beribu-ribu lebah seakan turut memuntahkan sengatan di tubuhku. Masih dengan tubuh yang basah, aku menuju kamar untuk mengambil ponsel dengan segera. Spontan. Napasku menderu. Seperti sedang mengikuti ujian kesamaptaan. Lariku kencang. Berkekuatan penuh, untuk segera kembali ke samping korban.
        Ibu jariku menggesek-gesek layar ponsel mencari arsip pesan masuk.
Reno, akhir bulan ini, aku ada liputan travelling di SIERA INDIA NANO GOLF ALFA PAPA UNIFORM ROMEO ALFA (7) lho. Kamu mau nitip apa?
Received:
08:30:16am
14-12-2014
From:
Sarah
      Daftar nama korban aku rebut dari tangan rekanku. Satu persatu aku amati dengan seksama. Satu nama begitu akrab di mata. Tak asing. 
Damn!!! 
           Aku benar-benar bodoh. Setiap melakukan evakuasi selalu saja begitu. Tak awas dengan daftar korban. Bukan aku tak peduli. Bukan. Tingkat kefokusanku dituntut tinggi untuk memperhatikan segala gerak-gerik dan benda di tempat kejadian perkara. Kebodohankupun berlaku karena lupa tak membalas pesan Sarah. Bahkan lupa dengan kepergiannya. Kesibukanku di tengah-tengah deraan bencana akhir-akhir ini membuat konsentrasiku tak dapat mengarahkan cabangnya ke banyak hal.
Kedua tanganku memegang lengan jenazah perempuan itu lagi. Sebuah gelang berbahan prusik merah jambu yang basah, bertengger anggun di pergelangan tangannya. Tak lagi cerah, sayangnya. Tahi lalat bulat hitam, tampak manis, 20 sentimeter di atas pergelangan tangan. Ah ini benar-benar Sarah. Sarah Amelia Rinjani, sahabatku. Sahabat lamaku yang telah mengikat janji untuk bertemu denganku di hari ulang tahunnya nanti. 20 Januari. Di Surabaya.
      Sahabat yang akan aku pinta cintanya. Sampai akhir hayat rencananya. Ketika malam kedua puluh lima dia dilahirkan.

Semarang, 3 Januari 2015

Keterangan:
1: BT= Bung Tomo
2: Dimengerti
3: Menuju
4: TKP
5: Selamat bertugas
6: Meninggal dunia
7: SINGAPURA

Cerpen ini diikutsertakan pada Tantangan Kampus Fiksi #KabarDariJauh


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Implora Day to Day Series, Tampil Manis dengan Make Up Minimalis

  Bisa make up dengan tenang tanpa direcokin anak pasti jadi dambaan perempuan dewasa. Ya, sebagaimana fitrahnya perempuan, yaitu bersolek. Merias diri agar tampak apik dipandang mata, menjadi hal naluriah. Sementara itu, sebagian ibu dengan anak balita, merias diri bisa menjadi aktivitas yang sangat menantang. Apalagi yang belum kenal dengan Implora Day to Day Series. Untungnya Implora series ini baru ada di akhir 2023, yang mana anakku sudah mulai memasuki masa kanak-kanak. Coba masih bayi, aku harus menyembunyikan dengan berbagai cara. Biar tim ungu series yang manis ini tak lekas rusak, sebelum habis dipakai. Paham kan ibu ibu di pelosok tanah air? 😁 Pas banget, ketika Implora day to day Series ini launching , aktivitasku semakin padat. Sejak Desember, aku mulai sering diminta menjadi narasumber, pemateri, atau pengisi acara. Di samping itu, kerap kali ada acara orang tua di sekolah. Aku butuh banget make up yang bisa dipakai sat set, plus dapat dibawa kemana-mana dengan mudah. Ak

Mau Kuku Tampil Cantik? Implora Nail Polish Bikin Makin Percaya Diri

  Ngomongin soal nail polish atau cat kuku, atau kutek, tidak seperti ngomongin lipstik. Perempuan yang memilih tidak memakai nail polish, lebih banyak daripada yang memilih tidak memakai lipstik. Tetapi, memakai nail polish sebenarnya hal yang lumrah. Ya, karena bagian dari fitrah perempuan, yang demen banget bersolek. Bahkan menggunakan nail polish, bisa bikin makin percaya diri. Apalagi kalau pakai Implora Nail Polish. Kapan aku mengenal nail polish, tentu sejak kecil 😁. Namun ketika berada di bangku kuliah, aku selalu memakai nail polish berwana hitam. Gemes sama warna ini. Ini berlangsung sampai aku bekerja. Tentu pakainya ketika si tamu bulanan datang 😁. Sejak hamil dan melahirkan, aku berhenti memakai nail polish. Hingga anak perempuanku, keranjingan memakai nail polish sejak usia 3 tahun. Kemudian di usianya yang ke-6, aku mulai berpikir, untuk mencoba memakai nail polish lagi. Karena, ia akan senang, dan merasa semakin dekat, jika aku masuk ke dunianya. Daaan kutemukan si Im

Punya Bibir Gelap? Coba Ombre Pakai Implora Urban Lip Cream Matte

    Memilih Lipstik berdasarkan berdasarkan warna kulit dan warna bibir itu, bagiku cukup rumit. Apalagi dulu aku asal pakai saja. Bahkan sering lebih memilih meminta pendapat teman. Namun, s aat ini aku sudah bisa memilih warna lipstik sendiri. Lipstik yang cocok untuk bibirku yang agak gelap dan kulitku yang sawo matang. PR berikutnya ialah membuat gradasi di bibir seperti orang-orang. Aku tidak bisa. Berulang-ulang membuat ombre, gagal. Bahkan warna tak sesuai. Malah membuat makin gelap dan kurang fresh . Hingga akhirnya aku berhasil membuat ombre, walaupun masih belum mahir. Kemudian aku mencoba menggunakan Implora Urban Lip cream Matte. Ulasannya bertebaran di mana-mana, siapa tahu cocok di bibirku. Implora Urban Lip Cream Matte Implora Urban Lip Cream Matte dibuat dengan formula lembut, dengan kandungan vitamin E. Vitamin E ini memiliki fungsi sebagai antioksidan. Oleh karena itu, Lip Cream ini dapat membantu menjaga kelembapan bibir dengan alami. Ada banyak pilihan