Ketika menulis ini, aku sedang berpikir keras,
berguna gak sih? Mana udah telat, udah lewat dua minggu pula. Ah peduli amat,
amat aja kagak peduli. Biarin ah. Ngapain juga diambil pusing, yang penting
ditulis aja, bukan? Toh ingatan tentang kenangan itu masih terus menderu dalam
otak dan hatiku. Hmmm kampus fiksi 10. Ya, sesuatu yang aku sendiri tak pernah
membayangkan bisa terpilih untuk mengikutinya, lebih awal pula.
Senyumku
menimbulkan kekehan yang menggelitik telingaku sendiri. Ingatanku tiba-tiba
melayang ke malam pentas seni. Pentas seni dengan persiapan yang serba kilat.
Lebih tepatnya kilat ekspress, persis seperti jenis kiriman pada kantor pos.
Ups lebih kilat lagi. Petir kali ya yang cocok. Cerita tentang Cinta dan
Rangga. Ah aku terkekeh lagi kan? Cerita itu sungguh tragis, berakhir dengan
berlabuhnya hati Cinta kepada colokan cilok. Oh My God, kenapa jadi jualan cilok yah, bukan cinlok aja?
Hahahahahahaha.
Kembali
lagi ke kisahku yang lebih awal mengikuti kampus fiksi 10. Aku sebenarnya
berasal dari planet nun jauh di sana. Ups, bukan dink, maksudnya berasal dari angkatan
15. Bahagia banget bisa terpilih untuk mengikuti KF regular. Untuk yang ini aku
ngucapin makasih bangeeet buat Reza Nufa, udah bikin nama aku mejeng di deretan
peserta KF Reguler. Gak tahu harus bagaimana ngungkapin makasihnya. Sumpah.
berhari-hari di manapun aku jadi sering senyum-senyum sendiri.
Yup,
kenapa Reza Nufa? Nih cowok adalah mentor kelompok aku saat mengikuti Kampus
Fiksi Spesial Yogya bulan April 2014 yang lalu. Ada praktik menulis 3 jam gitu
deh. Di KF Spesial itu pula, aku bertemu dengan Wulan, Inggy, Opi, dan Amad.
Wulan, Inggy, dan Opi sebelumnya telah mendapatkan golden ticket untuk mengikuti KF Reguler, pada kuis hari buku.
Ketika mereka mengaku, mulutku tak berhenti mendecakkan kekaguman. Hebat
mereka. Nongollah nama mereka pada KF angkatan 14. Lalu, gak pernah disangka
dan diduga, ternyata, dari praktik menulis itu, terpilihlah 10 peserta yang
mendapatkan golden ticket. Eh ada
nama aku. Alhamdulillah Ya Allah Gusti. Berada di deretan peserta KF regular
angkatan 15. Wew lama kali, masih 2015.
Kemudian
pada suatu pagi, Wulan nge-BBM aku kalau ada kabar seat kosong dari twitter malam sebelumnya. Yasalam, pas banget,
sehari sebelumnya babar blas kagak
buka twitter. Walah langsung teriak-teriak kegirangan dan sms Mbak Ve. Kesepakatan
pun dibuat, Inggy, Wulan, aku dan Opi mau ngisi seat kosong itu. Kalau Amad mah kagak usah diomongin, emang dia
dapat kursi di angkatan 10 dari Pak Edi. Rasanya kayak ngurusi orang mau
lahiran, telepon Wulan, terus telepon Opi. Jian,
sampai jengking guling-guling, si Opi
susah banget dihubungi. Meja hampir aja aku telen tuh, untung pas ada tamu
datang. Jalan pintas dan jalan terakhir aku pilih, merayu Mbak Ve untuk
menyisakan dua kursi khusus buat Wulan dan Opi. Dan berhasil, gilaaaa!!! Seneng
banget, lompat-lompat sambil kayang dah aku. Barengan deh ikutan KF 10 pada
tanggal 29 s.d 30 November 2014.
Tanggal
28 November tiba. Sedih, gagal berangkat awal karena sesuatu hal. Sampai Yogya
pun kemalaman. Sesuai arahan Mbak Ve, aku turun di Concat. Dijemputlah aku oleh
laki-laki yang lumayan berbobot bernama Mas Agus. Eh sama-sama pakai kaos merah
ternyata. Lanjut jemput si Wawan dari Pontianak. Yasalam, tuh cowok nyempil di
mana coba? Dicariin kagak ketemu juga. Dengan berbagai usaha dan sekian lama
akhirnya si Wawan nongol. Dengan gagah perkasa, dia naik sepeda motor bareng
temen-temennya. Deuh ni cowok, kagak tahu kalau aku sejak dari Concat udah
kebelet pipis. Setelah ketemu dia malah kelupaan dah. Lah dari balik jaketnya,
tersembul kaos berwarna merah. Alamak, kenapa kita bertiga samaan ya? Mau
kampanye ye, Bro?
Bim
salabim, tak lama kemudian sampailah kami di asrama yang kabarnya baru aja jadi.
Yeeee merawanin nih gedung deh. Yasalam, buka pintu mobil kenapa banyak banget
anjing yang lagi bersantai ria dan curhat ya. Deuh pengalamanku buruk banget
sama hewan yang satu ini semasa SD. Buru-buru deh naik tangga. Tanpa banyak
kata, aku mengetok pintu dan mengucapkan salam. Tak lagi menunggu dibukakan,
karena kantuk yang tiba-tiba menyerang setelah ketemu Wawan, aku buka sendiri
tuh pintu dari luar. Wajah cerah nongol satu persatu dari balik meja, yang
rupanya si pemilik telah bertengger cantik di atas kasur. Ah wajah-wajah itu.
Tak asing bagiku. Mereka adalah tim pembasmi rayap yang jitu. Ups bukan dink,
tim KF tepatnya.
Setelah
bersalaman dan merasakan lembutnya tangan mereka satu persatu, aku menuju ke
kamar. Sayup-sayup mataku memandang. Yes, aku tak salah kamar. Di situ sudah
ada Opi, Inggy, Wulan, Musrifah, Vina, dan Viki. OMG, si Wulan, kenapa kayak
guling gak kepakai sih tu anak. Aku datang, melek aja kagak. Tiba-tiba
datanglah gadis hembring yang rempong, bolak-balik, balik-bolak, keluar masuk,
masuk keluar. Feni. Ya ini rupanya anaknya, benar-benar masih berstatus pelajar
SMA. Belum lama badan ini menikmati ubin asrama, Mbak Rina membawakanku goodie bag lengkap dengan 5 buku, 1
blocknote, dan 1 pulpen plus menawarkan segunung cemilan. Rejeki mana coba yang
akan engkau dustakan, Neng?
Asrama
ini benar-benar mengajak peserta untuk hidup sederhana, apa adanya, menghormati
sesama serta tepo seliro. Bayangkan dengan hanya dua kamar mandi, seluruh
peserta tidak ada yang telat untuk mengikuti materi. Benar-benar keren kan?
Tidak ada yang berebut pula, semuanya sabar menanti. Mirip kayak nama warung
penyet di Semarang. Ngomongin penyet jadi ingat dengan urusan makan. Di asrama,
gak bakal kelaperan dah. Makanan setiap saat tersedia, gratis pula.
Materi
demi materi diikuti bersama, sembari berkenalan dan curi pandang tentunya, iya
gak sih? Hari pertama yang melelahkan. Oh iya acara dipandu oleh Mas Wahyu Gading (tapi tanpa Martin) lho,
si MC abadi KF. Selanjutnya, ada praktik menulis 3 jam. Seperti kena musibah banjir,
aku tak tenang. Sebelah kiriku ada Wulan, udah 1,5 halaman, sebelah kananku si
Lina, walah 3 halaman. Lha aku, baru satu paragraf udah sepuluh kali menekan
tombol delete. Benar-benar resah
cyin. Belum juga selesai, si Wulan berteriak. Kagetnya aku, spontan
mengumandangkan takbir. Lalu di detik-detik terakhir, tak ada dentangan alarm.
Namun suara Mbak Rina memerintahkan untuk berhenti membuat aku lupa cara
memasukkan flashdisk ke notebook. Dan lagi-lagi si Wulan,
berteriak. Asap mengepul dari colokan di bawah kakinya. Aku seperti orang gagu,
mau ngomong apa keluarnya apa.
Setengah
jam lagi magrib. Yah belum nyiapin buat pentas seni. Begitu pula kelompok
lainnya. Kali ini aku senang, melihat para peserta tak memikirkan mandi demi
mempersiapkan pentas. Ye ye ye ye ternyata gak cuma aku aja yang gak mikir
mandi ketika waktu mendesak. Tapi pas lihat kamar mandi kosong dan persiapan
kelompokku udah selesai, aku mandi juga hohohohohohoho.
Sampailah
pada hari kedua. Materi-materi yang bermanfaat terus diberikan secara gratis
oleh pihak Diva Press. Tentang keredaksian, Marketing, Self Editing, teknik
kepenulisan, bimbingan onlie, proses kreatif. Satu lagi ni, satu lagi, materi
yang cukup menyentak hati. Filsafat, men, filsafat, yang disampaikan langsung
oleh Pak Edi Akhiles. Gusti Paringana
kekuatan, geleng-geleng seluruh isi kepalaku deh. Kagak di S1, S2, ini di
pelatihan menulis, nemu juga nih ilmu. Lengkap sudah 8 SKS. Oke, baiklah,
sepertinya aku harus berdamai denganmu oh filsafat.
Pemateri-pemateri
dua hari itu memang kece badai, cin. Selain Pak Edi Akhiles sendiri, ada juga Mbak
Rina, Mbak Munnal, Mbak Ajjah, Mas Aconk, dan satu lagi, cowok yang terkenal
sadis dan cool, namun baik hati sih sebenernya, yah Reza Nufa.
Tak
kelupaan, di hari kedua juga ada jadwal evaluasi cerpen oleh para mentor di
masing-masing kelompok. Kebetulan kelompokku dengan anggota aku, Wulan,
Musrifah dan Lina dimentori oleh Mbak Ayun. Deuh mati kutu rasanya, banyak yang
typo. Meskipun aku lamban dalam menulis, dengan segenap jiwa raga akhirnya
matang juga. Tak apalah kekurangan garam dan salah memasukkan merica.
Ujung
acara pun sampai, tiba-tiba aku ditunjuk untuk memberikan kesan dan pesan
mewakili kelompok. Alhasil aku malah ceramah panjang kali lebar. Tapi lama-lama
konyol juga. Padahal sebenarnya biar kagak grogi. Sedih sih iya, tapi bagaimana
lagi. Selalu ada perpisahan untuk sebuah pertemuan. Tapi aku yakin, ini hanya
sementara, kawan. Suatu saat nanti kita pasti akan berjumpa dengan membawa
karya-karya kita. Aku yakin, kalian akan menjadi orang-orang yang besar dengan
tetap rendah hati dan mau berbagi. Iya kan?
Tanggal 1 Desember
2014, hari terakhir di asrama, seluruh peserta yang tersisa diajak berkeliling
di kantor Diva. Seusai mejeng dan kenalan di kantor Diva, aku mendapatkan
sekardus buku. Pun peserta yang telah pulang dan belum. 50 buku guys. Banyak kan? 5 buku plus goodie bag beserta 1 buku yang aku beli,
dan dua buku yang aku bawa telah berhasil aku packing cantik bersama baju dan notebook
pada tas pink kesayanganku.
Tinggallah menenteng tuh kardus. Bergaya sok tangguh, sesampainya di seberang
jalan menuju ke gang kosan, aku panggul tuh kardus. Baru aja mau dinaikin ke
bahu, eeee lha dalah, tuh kardus nggelinding bebas gitu aja ke aspal. Sontak geeeerrrr, deretan supir ojek menertawakanku
dengan bahagianya. Deuh konyol. Lalu tertawa ngakak ketika udah sampai di kamar
kos.
Dua
setengah hari, tak cukup rasanya untuk menyatukan dan mengakrabkan hati dua
puluh kepala dengan empat puluh tangan. Tapi cukup memberikan rasa nyaman
dengan sebuah kebersamaan. Rasanya ingin merangkul kalian satu-persatu, tapi
apalah dikata, sang waktu harus mederu kemudian berlalu. Aa’ Amad, Mila, Dian,
Mbak Endah, Fatta, Feni, Inggy, Wawan, Lina, Wulan, Musrifah, Nida, Nursaadah,
Opi, Sani, Sri Siska, Mas Sugi, Viki, dan Vina, aku mencintai kalian. Pun aku
mencintai Kampus Fiksi dengan tiba-tiba. Makasih yah atas dua harinya. Di sini,
kembali aku menemukan keluarga di tanah perantauan. Keluarga yang saling
memberi dan menerima. Keluarga yang saling mendorong dan berbagi. Keluarga yang
saling menghormati. Pun saling menyayangi.
Para alumni KF,
terlihat sangat senang menerima kita, kawan. Tangan mereka terbuka lebar untuk
menggenggam dan memeluk kita. Tanpa merasa tersaingi dalam mendapatkan
bimbingan dan kasih sayang dari Pak Edi Akhiles dan tim KF. Bagaimana aku tak
menganggap ini bagaikan keluarga, coba? Tim KF dan Diva Press seakan menganggap
kita sebagai manusia yang sebenar-benarnya. Merangkul kita penuh suka cita.
Tanpa sekelumit cibiran meskipun diantara kita masih ada yang seumpama bayi baru
lahir, cenger. Mereka menganggap kita
seperti mutiara terpendam yang perlu segera diselamatkan. Cie…. Ceramah lagi
dah aku.
Pokoknya terimaksih
banyak untuk tim KF dan Diva Press. Benar-benar luar biasa. Spektakuler. Menggemparkan dunia para
penulis muda hehehehehehe. Tak apalah tak mengukir kisah cinlok, yang penting
kisah keluarga yang baru, terpatri di sanubari.
Komentar
Posting Komentar