Ilustrasi by Suara Pemred |
Dilarang Memangsa Anjing!!!
Kau tak perlu heran, Rud, jika berkali-kali menemukan tulisan seperti itu ketika bertandang ke kotaku. Tak hanya di pintu gerbang, coretan yang ditulis tebal itu juga akan kau jumpai di alun-alun, tempat wisata, penginapan, toilet, parkir, restoran, halte, sekolah, taman, gedung pemerintahan, dan semua tempat yang tak pernah luput dikunjungi orang.
Padahal, jika kau sejeli rajawali, kau akan jarang melihat seekor anjing yang berkeliaran mengendus-endus tanah. Kau hanya akan temukan kesejukan dan keramahan. Ada setangkup gunung dan beberapa bukit serta sekian lembar hutan bercokol di sini. Oh iya, sawah dan kebun pun tergelar di mana-mana, bagaikan tikar berbahan rumput jepang untuk selamatan.
Sudah dari ketika kota ini terbentuk, para tetua mematok aturan larangan memangsa anjing, pada setiap kepala bayi yang lahir. Sekali saja menyiksa anjing, maka tak hanya banyak mata yang akan menerkam tubuhmu, namun juga akan ada mulut-mulut yang meluluhlantakkan kenangan indahmu. Meskipun itu hanya menendang. Apalagi jika kau berani-berani menggorok lalu membumbui dengan kecap dan lada hitam, kemudian memanggang atau menggorengnya. Kutukan dari berbagai penjuru langit dan bumi akan menguar menerjang tulang-tulangmu.
Pernah, suatu sore istriku melihat seekor anjing hutan sedang menjilati jemari kaki anak keduaku yang baru berusia empat tahun. Wajahnya mendadak sepucat daging ayam mentah. Memang ia begitu jijik setiap melihat anjing mendekat. Tugaskulah sebagai pucuk pimpinan rumah tangga untuk mengantarkan kembali si penggonggong ke habitatnya. Kata kakekku, anjing hutan yang tersesat harus diantarkan pulang dengan terlebih dahulu mengelus-elus badannya, memberi makan, dan minum. Turun temurun aturan itu dijaga, tak boleh ada yang melanggar, sekalipun itu orang luar yang tinggal satu, dua hari, atau selamanya.
Kau tahu, Rud, salah satu hutan berada tak jauh dari rumahku. Tak ada satu kilometer. Sebenarnya aku ingin menunjukkannya padamu, sekarang. Sayangnya aku tak punya selembar pun foto yang memagut hutan itu. Tak usah khawatir, nanti akan kuajak ke sana jika kau sampai sini. Sekali-kali kau perlu memberi asupan vitamin ke mata dan otakmu. Kau itu terlalu banyak terpancari AC di gedung-gedung bertubuh raksasa. Tak sedetik pun kau berhenti mengulum hal-hal yang berasa politik. Bagaikan kecanduan rokok dan kopi saja kau ini.
Oh iya, kau harus dengar ceritaku. Hutan dekat rumahku itu dikeramatkan. Dari hutan itulah awal mula larangan memangsa dan menyiksa anjing ditetapkan. Ada satu pohon yang sampai sekarang tak boleh ditebang. Kata orang-orang, di bawah pohon itu, dulu bercokol rumah panggung milik seorang perempuan keturunan dewi. Sebenarnya aku heran, kenapa pohon itu tak mati-mati. Padahal banyak pohon di sekelilingnya yang susul-menyusul terjungkal dari tanah. Jangan kau tanya berapa usianya, aku sendiri tak tahu persis berapa tahun.
***
Dulu ada dewa dewi yang bersahabat. Namun, mereka melanggar norma. Sang Dewa melakukan berbagai cara agar ilmu dan kesaktiannya terus meningkat. Bahkan dengan cara sekotor comberan. Ia mendekati dewa-dewa yang naik daun. Tak malu ia menjadi penjilat di antara sekian dewa. Lalu menjatuhkan mereka seperti tahi bayi yang tak berguna. Sedangkan sang Dewi membiarkan itu terjadi begitu saja. Padahal ia membopong tugas menjaga kebijaksanaan.
Sang Hyang Tunggal murka. Didepaknya Dewa Dewi itu ke bumi tanpa upacara pelepasan. Sebelumnya mereka dikutuk, sang Dewi menjadi babi yang senang menguik dan sang Dewa menjadi anjing yang suka menggonggong. Hukuman akan lesap jika mereka dapat menjaga ketenteraman dan keamanan hutan, bersemedi memohon ampunan, serta berbuat kebajikan, hingga dirasa oleh sang Hyang Tunggal, pantas kembali menghuni istana langit.
Hingga suatu hari, si babi meminum air seni seorang raja. Tak dinyana, babi itu hamil. Ia pun melahirkan bayi perempuan yang molek. Setelah dewasa, si bayi bernama Sumbi itu memelihara anjing jelmaan sang Dewa, yang ia panggil Tumang.
Sumbi senang menenun. Kesehariannya selain mencari dedaunan dan buah-buahan yang bisa dimakan, ia akan menenun hingga matanya digelayuti kantuk. Siang itu begitu panas, Sumbi malas beranjak dari rumah setengah panggungnya. Rumahnya memang tak menapak tanah, ada kayu-kayu penyangga yang tak seberapa tinggi pada alas rumah. Sebatang pohon menaungi rumahnya. Oleh sebabnya ia enggan menggeserkan kaki untuk turun ke tanah. Sialnya, tepat ketika matahari semakin menyengat, benang untuk menyambung tenunan, jatuh ke kolong rumah.
“Malas sekali rasanya. Ah seandainya Sang Hyang Widiwasa mengirimkan seseorang untuk mengambilkan benangku. Jika ia perempuan akan aku jadikan saudara, akan aku sayangi sepanjang usia. Jika ia laki-laki, aku rela menjadi pendamping hidupnya, akan aku hormati dan kubasuh kakinya setiap malam.” Sumbi menumpuk kain tenun untuk dijadikan bantal.
Datanglah Tumang meringkuk di dekat tubuh Sumbi yang telanjur mereguk mimpi. Dijilati tangan Sumbi dengan diselingi gugukan. Ketika pupil mata menatap cahaya, Sumbi menemukan benang tenun tergeletak di bawah kaki. Ada sedikit liur Tumang di salah satu badan benang. Karena bukan orang yang suka berpura-pura melupakan atau tak menepati janji, maka menikahlah ia dengan Tumang tanpa pesta dan jamuan makan, seminggu kemudian.
***
Malam keduabelas setelah Sumbi dan Tumang menikah. Bulan tampak sebulat telur mata sapi yang dimasak dengan benar. Sumbi terbangun dari lelapnya.
“Siapa kau? Beraninya kau tidur di sampingku.”
Di antara rasa kaget, sebenarnya ia kagum dengan lelaki yang tiba-tiba tidur seranjang dengannya. Ia akui, lelaki itu begitu memesona. Berbadan tegap dan kekar. Kumis hitam tipis tertata rapi di bawah hidung. Rambut jambangnya hitam dan lebat. Ada cekungan di bawah janggut. Di janggutnya pula ada segores luka tipis. Mirip luka Tumang seingatnya.
“Sumbi, aku suamimu. Tumang.” Tangannya meremas punggung tangan kanan Sumbi.
“Tidak, Tumang itu seekor anjing.” Wajah Sumbi semerah cabai karena geram.
Sekian bukti Tumang tunjukkan hingga dengan sekian waktu Sumbi bisa meyakini semua ucapannya. Purnama pertama mereka habiskan dengan saling memandang, memeluk, memagut bibir, mengendus, melenguh, meliuk, dan menciptakan peluh. Setiap bulan menampakkan tubuhnya dengan sempurna, maka Sumbi pun dapat menyentuh wajah manusia suaminya.
Lalu lahirlah sang putra pada purnama keduabelas, Sang Kuriang. Sejak usia Sang Kuriang memasuki lima tahun, Tumang tak lagi berubah menjadi manusia ketika purnama bertandang. Sebelumnya, mereka mencuri waktu untuk bercumbu ketika Sang Kuriang terlelap.
Usia Sang Kuriang sudah sepuluh tahun ketika Sumbi mendambakan hati kijang. Sang Kuriang kerap berburu bersama Tumang ke tengah hutan. Namun, hari itu tak seperti biasa. Satu pun hidung hewan tak tertangkap korneanya. Padahal Ia sudah menyusuri tengah hutan hingga lima kali.
Semak di depannya bergerak. Ia diam dan memberi isyarat ke Tumang untuk bergeming. Beberapa saat kemudian, menyembullah moncong babi dengan beberapa kuikan. Sang Babi berlari terbirit-birit setelah melihat kaki jenjang manusia. Sang Kuriang meminta Tumang mengejar babi sintal itu.
“Ternyata kau, Wayung. Sudah lama kita tak bersua”
“Mau apa kau?”
“Cucumu memintaku mengejar seekor Babi, aku tak tau kalau itu kau.”
Tumang merasakan Sang Kuriang mendekat. Babi Wayung memintanya berpura-pura menggigit kaki kanannya. Setelah Sang Kuriang berada lima langkah dari mereka, sang babi melarikan diri. Sang Kuriang murka.
“Bodoh kau Tumang!!!”
Ditombaknya Tumang hingga menggelepar melepas nyawa. Sang Kuriang membelah tubuh Tumang, menarik hati, dan meninggalkan bangkainya yang dikerumuni pasukan lalat. Ibunya akan senang, pikirnya.
***
“Anak kurang ajar, kau bunuh A….”
Sumbi memekik sambil terisak. Dihentikannya ucapan yang akan menguak sosok ayah Sang Kuriang. Tubuhnya gemetar, menahan amarah atas kenyataan yang ada di depan mata. Baru saja ia melahap hati lelaki terkasihnya bersama anak semata wayangnya.
“Maafkan aku ibu.” Sang Kuriang tak kalah terisak.
“Cari tubuh Tumang sekarang, jangan kembali sebelum ketemu.” Dilemparnya sendok nasi yang terbuat dari kayu hingga kepala Sang Kuriang terluka.
Di kemudian hari, ketika darah tak lagi merembes, luka itu membekas. Membentuk goresan agak cekung. Tak ada selembar rambut pun yang mau tumbuh di sana.
Kau tahu kelanjutannya? Sang Kuriang tak menemukan tubuh Tumang. Ia menyesal sepanjang hidup. Sejak saat itu ia tak lagi mau memakan daging. Ia putuskan kembali ke rumah setelah lima tahun pergi. Ada rindu yang bersembulan mencuat-cuat di dada. Berharap Sang Ibu telah memaafkan. Namun, harapan itu harus ia telan segera. Sang Ibu menghilang, hanya tertinggal rumah yang rimbun dengan alang-alang dan rumput gajah.
Itulah kenapa orang tua di kotaku selalu mengulang-ulang larangan memakan dan menyiksa anjing. Karena kami tak pernah tahu, siapa anjing itu, bisa jadi itu anggota keluarga, teman, guru, atau tetangga kami *.
***
Oh sial, ada anjing masuk. Pasti istriku lupa menutup pintu belakang dengan rapat. Sebelum istriku melihat, lalu suaranya menggelegar hingga membangunkan warga sedesa, aku harus mengeluarkan dulu anjing itu. Tunggu Rud, jangan kau offline. Masih banyak yang harus kita bicarakan, bukan?
“Kampreeeet!!!! Ngepet.”
Anjing itu tembus ke dinding rumahku, Rud. Untung saja aku tak pernah meninggalkan banyak rupiah di rumah. Semoga istriku tak sedang menyimpan banyak uang di dompet merah marunnya.
Loh, apa yang terjadi, Rud? Kenapa foto profilmu tiba-tiba berubah? Apa ada orang yang sengaja membobol medsosmu? Sebentar Rud, foto-fotomu yang kuambil beberapa waktu lalu, pun berubah. Kau ingat beberapa kali kau memintaku untuk menjadi juru kamera khusus di acaramu? Salah satunya ketika kau mengenakan batik bermotif Wayang Kresna. Waktu itu kau menghadiri acara pernikahan putri salah satu tokoh di negeri ini. Foto ketika kau bertandang di tempat terjadinya bencana longsor tahun kemarin pun sama. Semua fotomu di laptopku berubah sendiri.
Kepalamu berubah menjadi kepala anjing. Hanya kepalamu. Anggota badanmu yang lain tetap seperti sedia kala. Lidahmu menggantung. Menjulur. Mulutmu tertarik ke samping. Matamu membulat penuh harap. Kau seakan bernafsu menjilati—apa-apa yang ada di depanmu.
Ada apa dengan penglihatanku? Apakah ini karena mataku yang lelah hingga apa yang tertangkap di otakku jadi keliru? Atau aku kurang minum? Ah mungkin terlalu khawatir dengan anjing jadi-jadian tadi.
*Terinspirasi dari Bab 14, Novel O, Karya Eka Kurniawan.
Tangsel, 25 Maret 2016
Cerpen ini pernah dimuat di Harian Suara Pemred
Suka sama alur ceritanya nih bagus ❤️
BalasHapusWah makasih mak. Udah mampir dan baca
HapusCerpen dlu emang gak ada duanya, bahasanya ngena tapi sederhana
BalasHapusSekarang juga masih banyak kok yang ngena dan bahasanya sederhana
HapusBagus banget cerita novelnya
BalasHapusWahhh,, hebat bisa bikin cerpen gini.. Keren ceritanya mom..
BalasHapusKeren bangettt ajarin akuuu
BalasHapusBagus bun . Pengen bisa nulis begini ehehe
BalasHapusSamaa nih aku jg mau busa nulis begini
Hapusbagus banget mom sma alur certa nya ku sukaa❤️
BalasHapusBaru skrg aku baca cerpen lagi... 😁
BalasHapusIni tuh ceritanya dia lagi monolog gitu ya mom?
BalasHapusIya, betul sekali
HapusIni tuh ceritanya dia lagi monolog gitu ya mom?
BalasHapusjago banget mamak satu ini nulis
BalasHapuskeren banget sih mom jago nulis ya inspiratif banget kisahnya 😍😍😍
BalasHapusAku sneng bunda buat cerita bagus bagus, ayo buat novel ditunggu
BalasHapusbagus banget cerita nya, ajarin dong biar aq bs nulis cerita...
BalasHapusBagus kakk dan menarik ceritanya hihihi thank you kakk bs jd bahan cerita
BalasHapusMenarik bgt alur ceritanya..inget dulu suka baca cerita gini😁
BalasHapusRajin nulis ya mom.. inspiratif bgt bsa bwt bikin cerita ke anak..
BalasHapusWaduh bahaya kalau dibacain ke anak. Ini cerpen dewasa eui xixixixi
HapusBagus banget alur ceritanya moms 😍
BalasHapuskerenn...lanjutkan!
BalasHapusSuka banget sama ceritanya. Keren banget 😍
BalasHapusceritanya bagus banget, alurnya juga. suka ❤️
BalasHapus