Oleh: Meka
Senja berakhir, sementara aku masih
bermain. Berlari sembari tertawa dan berteriak-teriak tanpa dosa. Ibu sudah
berkali-kali menghalau suaraku yang memekakkan telinga. Tetapi aku tetap saja
tak peduli. Gema dari pita suaraku menguar ke setiap inci dinding rumah.
Saat itu usiaku baru delapan tahun,
ketika Nan mengajakku bercanda. Pintu rumah kami sangat dekat, bahkan
dindingnya melekat tanpa sekat. Gadis lima tahun itu berkali-kali berlari ke
depan pintu rumah. Serupa pencuri ia mengendap-endap. Kemudian mengagetkanku
sembari berteriak ketika melihatku berada di sekitar ruang tamu. Tawanya
meletus, ketika aku terbirit-birit masuk ke kamar atau dapur untuk bersembunyi.
Tak mau kalah, aku pun berulah. Ketika
ia bergelayut di punggung ayahnya aku terkam kakinya. Lariku melesat masuk ke
dalam rumah. Berulang-ulang dan bergantian kami saling mengagetkan di depan
pintu rumah masing-masing.
Untuk sekian kalinya aku berlari ke
dalam kamar. Kali ini tak ada ibu atau bapak di dalam.
Dinding kamar berbatasan dengan lorong
rumah Bu Mar. Hanya ada satu kotak jendela kecil tanpa kaca, setinggi sekitar
250 meter dari atas lantai.
Nan tersenyum damai di antara bingkai jendela.
Senyumnya berbeda, bibirnya tampak lebar ke samping kanan dan kiri. Tawaku
tetap terbahak, berulang kali meneriakkan namanya. Lalu, lekas kembali berlari
ke depan. Nan sedang makan jajanan berada di samping ayahnya.
Ayah berdebat dengan ibu, lalu menengok
ke jendela kamar. Tak ada siapa-siapa.
Tak seberapa lama, di belakang rumah
berkumpul Ibu, Bu Mar, dan Ibu Nan. Bu Mar hendak memberikan uang titipan
belanjaan sekitar lima ratus ribu kepada Ibu Nan. Ketika merogoh saku daster,
uang itu telah raib. Lalu Bu Mar menyusuri pintu belakang rumah Nan sampai
pintu samping rumahnya. Ada jendela kamar rumahku di depan pintu rumah Bu Mar.
Tetap saja, uang itu tak ada.
Ah mungkin dibawa oleh anak serupa Nan
yang tersenyum di bingkai jendela.
#NulisBarengAlumni
#KampusFiksi
#Horor
Anak serupa Nan? oh... siapa itu? Hiii
BalasHapusSeorang anak yang tersenyum di bingkai jendela, mbak endah hehehehe
Hapus