Dua puluh delapan bulan berlalu, tanpa
dapat kembali layaknya kau kembali pulang dari perantauan. Tetapi, rasa itu
terus terulang, terulang, dan terulang. Bersamaan dengan jarum jam yang
bergeser pelan.
Aku mengenalmu tanpa sengaja. Ketika
semua hal semacammu berlenggak-lenggok di dunia maya. Terpesona. Ya, aku
terpesona. Keinginan untuk merengkuhmu mencuat-cuat. Keyakinanku begitu kokoh
bagaikan prajurit yang siap memberondong musuh dengan senapannya.
Bersama seorang sahabat yang tetiba juga
terkagum-kagum padamu, kukumpulkan apa pun. Apa pun persyaratan untuk dapat
menembus hati dan jantungmu. Agar kau melirikku, lalu menjadikanku sebagai
salah satu sosok yang tepat berada di dekatmu.
Semua kulalui dengan penuh harap.
Pertemuan pertama, ternyata aku berhasil menaklukkanmu. Dan aku berjumpa dengan
seorang kawan yang mengobarkan bara ragu di hatiku. Berbelok kepadanya atau
setia menantimu. Pertemuan kedua, ternyata kau ingin berlama-lama denganku dan para
pesaingku. Mereka semua aduhai fisik dan kecerdasannya. Ah aku tak gentar.
Lalu, pada akhirnya kau tak memilihku,
setelah semua harapan kau tiupkan di depan wajahku. Setelah jiwa raga, berbutir-butir
keringat, berpuluh-puluh jam, dan bertabung-tabung darah, aku persembahkan
hanya untukmu. Belum lagi aku harus menghalau kantuk di pagi buta; berganti
bus, kereta, dan taksi; menggesek ATM berulang kali, demi menjumpaimu sebelum
matahari menggeliat cantik. Tak apa, sudah biasa aku gagal. Aku ikhlas.
Ah seharusnya ikhlas itu bagaikan kentut
yang kadang keluar tanpa bau. Keluar ya keluar saja, tanpa penyesalan dan
kembali diingat-ingat. Hanya perlu terus diulang selama hidup kita belum
berjumpa tanda titik. Tetapi, nyatanya itu hanya bualanku saja.
Mulutku berucap ikhlas. Hidupku terus
bergulir seperti biasa. Tetapi semua berubah ketika aku mendapati prasangka
yang terkuak dengan sendirinya. Si pengguncang keraguan ternyata berhasil mendekatimu, berhasil
menyilaukan matamu dengan otak dan fisiknya. Padahal sebelumnya dia mengaku kau
empaskan juga. Belum lagi kenyataan baru yang setiap hari mendesiskan kabar.
Mereka dari kaumku yang berhasil meluruhkan liurmu hingga ke tanah sebagian
besar berasal dari orang-orang di masa lalumu. Pantas saja. Aku terdepak dengan
ketidakmampuan dan keraguan.
Kembali aku patrikan keikhlasan, bahwa
gerbangmu memang tidak cocok aku masuki. Akan ada gerbang lain yang pasti tepat
untuk kucumbui dengan mesra. Tetapi lagi-lagi dada seakan disiram air mendidih,
ketika kaumku yang telah berada di pangkuanmu itu memposting segala hal
tentangmu, tentang tawa mereka bersamamu. Sakit. Perih.
Ah sialan. Ikhlasku kembali terbang
membumbung pergi bersama asap rokok dan kendaraan.
Kemudian, aku terus, terus, dan terus
tahu tentangmu tanpa harus bersamamu. Semakin tahu dan tahu. Kau tahu suatu
hari aku berhasil menembus gerbang rumahmu tanpa syarat dan tanpa harus
bersimpuh di kakimu? Dan aku tertawa puas.
Kau menjadi salah satu penyebab hingga
kuputuskan melarungkan diri di riuhnya ibu kota. Lalu, memberanikan diri secara
berkala melihat sosokmu. Menghilangkan candu luka ketika mendengar apa pun
tentangmu. Menahan lemahnya tulang ketika mencium aromamu.
Ah aku lelah, tak tahu, sudah ikhlas
atau belumkah saat ini. Aku benar-benar lelah, tak lagi dapat menahan kabar
tentangmu yang kini dengan mudah menggelayuti kedua lubang telingaku.
#NulisBarengAlumni
#Ikhlas
#KampusFiksi
Komentar
Posting Komentar